-->

Belajar NU

Oleh: Alfa RS.

Kemarin, tepatnya 23-27 Maret 2010, Nahdlatul Ulama (NU) akhirnya menggelar Mutamar yang ke 32-nya di Makassar. Hawa gawe besar itu sangat begitu kentara. Seperti yang kita saksikan di media, banyak ulasan atau sekedar berita tentang NU.

Wacana seputar NU yang bergulir sebenarnya masalah lama. Mulai dari kemana arah NU, sampai yang hanya sekedar mengenalkannya. Ironis memang. Setelah hampir mendekati usia seabad eksis di Indonesia, banyak yang hanya mengenalnya dalam bingkai nama.

Yang lebih parah, masyarakat pesantren sebagai ‘pemilik’nya juga banyak yang hanya mengaku sebagai warga NU, tanpa mengerti apa dan siapa sebenarnya NU itu. Nah, ada baiknya kita mencoba kembali mengenal NU lebih jauh lewat tulisan singkat ini.

Latar Belakang
Beragam pendapat tentang alasan terbentuknya NU. Tapi secara gamblang, NU Online memaparkannya kurang lebih demikian; Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul tahun 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana –setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni Mazhab Wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Karena sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta tahun 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc [1], maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H. (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.

Untuk menegaskan prinsip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Struktur
Meskipun hal ini sepele, harus kita akui sebagai generasi muda NU, banyak diantara kita yang tidak mengerti akan struktur organisasi kita. Sebenarnya, bagi kita yang aktif di jamiyyah atau organisasi yang berada dalam pesantren, hal ini bukanlah hal yang rumit.

Di pusat, dalam NU ada istilah Pengurus Pusat. Sedang di tingkat Propinsi, istilahnya Pengurus Wilayah. Tingkat Kabupaten/ Kota, namanya Pengurus Cabang. Sedang tingkat Kecamatan dinamakan Majelis Wakil Cabang dan untuk tingkat Desa/ Kelurahan, istilahnya Pengurus Ranting.

Disetiap tingkatan (Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang), dalam kepengurusannya terdapat Penasehat (Mustasyar), Pimpinan Tertinggi (Syuriah) dan Pelaksana Harian (Tanfidziyah). Sedangkan ditingkat Ranting (Desa/ Kelurahan), hanya ada Syuriah dan Tanfidziyah.

Usaha
Seperti organisasi lainnya, NU pun sebenarnya punya setumpuk usaha yang dicanangkan dan selalu berusaha direalisasikan. Meliputi: Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.

Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur dan berpengetahuan luas.

Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.

Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. Selain itu, NU juga mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Badan Otonom
Seperti jamiyyah-jamiyyah yang ada di pesantren, NU juga memiliki Badan Otonom (Banom). Pembentukan dan pembubarannya diusulkan Pengurus Besar NU, kemudian ditetapkan dalam Konferensi Besar, lalu dikukuhkan dalam Muktamar.

Banom NU dibagi menjadi dua, ada yang berbasis usia dan gender, adapula yang berbasis profesi dan kekhususan.

Banom jenis pertama adalah; 1). Muslimat Nahdlatul Ulama, disingkat Muslimah NU (untuk anggota perempuan NU yang berusia minimal 40 tahun), 2). Fatayat Nahdlatul Ulama, disingkat Fatayat NU, (untuk anggota perempuan muda NU yang berusia maksimal 40 tahun), 3). Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama, disingkat GP Ansor NU, (untuk anggota laki-laki muda NU yang maksimal berusia 40 tahun), 4). Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, disingkat IPNU, (untuk pelajar dan santri laki-Iaki Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 30 tahun), dan 5). Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama, disingkat IPPNU, (untuk pelajar dan santri perempuan NU yang maksimal berusia 30 tahun).

Sedangkan Banom yang kedua adalah; 1). Serikat Buruh Muslimin Indonesia, disingkat Sarbumusi, (untuk anggota NU yang berprofesi sebagai buruh/ karyawan/ tenaga kerja), 2). Pagar Nusa, (untuk anggota NU yang bergerak pada pengembangan seni bela diri), 3). Jam'iyyatul Qurra Wal Huffazh, (untuk anggota NU yang berprofesi Qori/ Qoriah dan Hafizh/ Hafizhah), serta 4). Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah, (untuk anggota NU pengikut tharekat yang mu'tabar di NU). Kesemuanya itu, setiap tahun harus memberikan laporan perkembangan secara berkala kepada NU di semua tingkatan.

Pengurus Banom tingkat pusat terdiri dari Ketua Umum, beberapa Ketua, Sekretaris Jenderal, beberapa Sekretaris, Bendahara Umum dan beberapa Bendahara. Sedangkan di tingkat Wilayah ke bawah, terdiri dari Ketua, beberapa Wakil Ketua, Sekretaris, beberapa Wakil Sekretaris, Bendahara, serta beberapa Wakil Bendahara.

Untuk mengontrol kinerja Banom, diadakan pula beberapa pertemuan penting. Namanya Kongres dan Konferensi.

Kongres adalah permusyawaratan tertinggi Banom untuk tingkat pusat. Sedangkan Konferensi adalah permusyawaratan tertinggi Banom untuk tingkat Wilayah ke bawah. Kongres atau Konferensi mengevaluasi dan memutuskan beberapa hal. diantaranya; 1). Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Banom NU yang disampaikan secara tertulis, 2). Garis-garis Besar Haluan Program Kerja, 3). Rekomendasi Badan Otonom, dan 4). Memilih Ketua Umum atau Ketua Banom. Sedang khusus Kongres, mengevaluasi dan memutuskan Peraturan Dasar/ Peraturan Rumah Tangga yang sejalan dengan Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama.

Peserta Kongres adalah Pengurus Pusat, utusan Pengurus Wilayah dan utusan Pengurus Cabang. Sedang peserta Konferensi ialah Pengurus di tingkatan masing-masing dan utusan Pengurus setingkat di bawahnya.

Muktamar
Kata di atas yang kemarin sering kita dengar, adalah sebuah forum permusyawaratan tertinggi di dalam organisasi NU yang digelar selama lima tahun sekali.

Kegiatan dalam Muktamar berisikan pengevaluasian dan penetapan beberapa hal. Diantaranya; 1). Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Besar NU yang disampaikan secara tertulis, 2). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, 3). Garis-garis Besar Haluan Program Kerja 5 (lima) tahun ke depan, 4). Masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan pada umumnya, 5). Rekomendasi Organisasi, dan 5). Memilih Rais ’Aam dan Ketua Umum Pengurus Besar NU.
Muktamar ini dihadiri oleh Pengurus Besar NU, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang/ Cabang Istimewa, dan Muktamar adalah sah apabila dihadiri oleh dua pertiga jumlah Wilayah dan Cabang / Cabang Istimewa yang sah.

Selain Muktamar, NU juga punya kegiatan lain yang hampir sama dengannya. Namanya Muktamar Luar Biasa, Musyawarah Nasional Alim Ulama, dan Konferensi Besar.

Muktamar Luar Biasa dapat diselenggarakan apabila Rais ’Aam atau Ketua Umum Pengurus Besar melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD & ART). Juga dapat diselenggarakan atas usulan sekurang-kurangnya 50 persen plus satu dari jumlah Wilayah dan Cabang. Jika kemudian digelar, acara ini dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Besar NU.

Sedangkan Musyawarah Nasional Alim Ulama merupakan forum permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar yang dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Besar. Kegiatan ini membicarakan masalah-masalah keagamaan yang menyangkut kehidupan umat dan bangsa.

Musyawarah Nasional Alim Ulama dihadiri oleh anggota Pengurus Besar Pleno dan Pengurus Syuriyah Wilayah. Selain itu, musyawarah tersebut dapat mengundang Alim Ulama, pengasuh Pondok Pesantren dan Tenaga Ahli, baik dari dalam maupun dari luar Pengurus NU. Dan ini bisa digelar, jika ada permintaan sekurang-kurangnya separuh dari jumlah Wilayah yang sah.

Namun begitu, pertemuan ini tidak dapat mengubah (AD & ART), keputusan Muktamar dan tidak memilih Pengurus baru. Musyawarah ini diadakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam masa jabatan pengurus Besar.

Sedangkan yang dimaksud Konferensi Besar merupakan forum permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar yang dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Besar.

Konferensi Besar membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Muktamar dan mengkaji perkembangan organisasi serta peranannya di tengah masyarakat yang dihadiri oleh anggota Pengurus Besar Pleno dan utusan Pengurus Wilayah.

Ketentuan lainnya, kenferensi Besar hampir sama dengan Musyawarah Nasional Alim Ulama.

Aliran dan Tujuan
NU menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah (Aswaja). Seperti kita ketahui, Aswaja adalah sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an dan Hadis, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Dengan paham itu, maka NU bertujuan menegakkan ajaran Islam menurut paham Aswaja di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Melihat fenomena yang akhir-akhir ini berkembang, dengan tidak sedikitnya kalangan NU terbawa paham yang jelas-jelas berseberangan dengan Aswaja, memahami hal ini (NU beraliran Aswaja) menjadi sangat begitu penting. Sehingga, tidak lagi kita temukan kasus Nahdliyyin (sebutan untuk warga NU) berkeyakinan 'macam-macam'. Mulai dari yang ekstrim aqli (rasionalis) sampai ekstrim naqli (skripturalis).

Menjadi harga mati pula bagi kita yang masih berstatus pelajar, mengetahui dan mendalami dalil-dalil –baik nash ataupun logika– yang melegalkan ritual-ritual NU.

Terakhir, memandang NU dengan tujuan mulianya itu (tegaknya Aswaja di Indonesia), kiranya menjadi sebuah pilihan memupuk rasa untuk terjun di dalamnya kelak, tentunya setelah kita bermasyarakat. Dan mari kita berharap, semoga pagelaran Muktamar ke-32 yang memutuskan KH. Sahal Mahfudz sebagi Rais 'Am dan KH. Said Aqil Siraj sebagai Ketua Umumnya, membawa dampak yang signifikan menuju tujuan NU yang utama. Semoga.

Footnote:
1]. Ad hoc adalah sebuah istilah dari bahasa Latin yang populer dipakai dalam bidang keorganisasian atau penelitian. Istilah ini memiliki arti, dibentuk atau dimaksudkan untuk salah satu tujuan saja atau sesuatu yang diimprovisasi.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post