-->

Haal Pesantren Lirboyo Kota Kediri, Jawa Timur?

Oleh Alfa RS.

Pesantren, dengan sistem pendidikan yang demikian sederhana, di mana didalamnya terjadi interaksi antara kiai atau ustadz yang berperan sebagai guru dengan para santri yang berperan sebagai siswa atau murid, telah menjadi standar pendidikan yang cukup efektif. Terbukti, kehadirannya sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang independent telah banyak me’lahir’kan alumni yang telah terjun di medan perjuangan, baik masyarakat maupun negara.

Rentang waktu yang kian panjang telah mengantarkan pondok pesantren mengalami perubahan-perubahan, baik sistem pendidikan maupun kurikulumnya. Dulu yang kebanyakan menggunakan sistem bandongan kini telah banyak menggunakan sistem klasikal. Dulu banyak pesantren yang hanya menjadikan kutubussalaf sebagai kurikulum pendidikan, kini telah banyak diantara pesantren (meskipun sebagian besar juga belum) yang memasukkan pelajaran umum sebagai kurikulumnya, dengan harapan para alumninya kelak dapat terjun di masyarakat. Namun yang demikian itu tidak berlaku bagi sebagian pesantren yang masih berpegang teguh pada pendidikan salaf. Mereka tetap eksis dengan kesalafannya, dengan harapan tetap bisa menjaga orisinilitas pendidikan pesantren seperti yang dinginkan para pendahulunya, serta menjadi pilihan bagi mereka yang menginginkan pendidikan salaf murni. Salah satunya adalah pondok pesantren Lirboyo Kota Kediri yang sampai kini tetap eksis dengan pendidikan salafnya. Namun demikian Pondok Pesantren Lirboyo bukan berarti anti dengan perkembangan zaman, terbukti, meskipun menggunakan kurikulum salaf, di Lirboyo juga diberi pendidikan bahasa Inggris, Komputer, meubelair, yang dikemas dalam extra kurikuler. Lebih dari itu, di pondok pesantren Lirboyo juga terdapat pondok-pondok unit, yang disana juga terdapat kurikulum umumnya, seperti halnya Pondok Pesantren Anak-anak Ar Risalah, Yayasan Pendidikan Islam Tri Bakti, dsb.

Sekilas Lirboyo
Seiring dengan berdirinya kerajaan Kadiri di wilayah selatan bagian barat Jawa Timur, lahirlah Kota Kediri dengan slogan "Kediri Bersemi". Nama Kota Kediri yang terbelah menjadi dua bagian oleh sungai Brantas itu, konon, berasal dari kata ‘kedi’ yang artinya mandul atau wanita yang tidak datang bulan. Sedang menurut kamus jawa kuno karangan Wayowasita, ‘kedi’ berarti orang kebiri, bidan, atau dukun.

Konon, sejarah masuknya agama Islam di Kota yang memiliki luas 63,40 Km 2 itu, dibawa oleh orang-orang Arab, disamping para pedagang Islam yang bukan Arab. Untuk memastikan tahunnya, sangat sukar. Tapi jika berpedoman pada nisan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik (tertulis tahun 1419 M.), dapat diambil kesimpulan sekitar tahun itulah Islam masuk di Kediri. Karena memang di daerah muara sungai Brantas terjadi perkembangan agama Islam. Dan hingga kini pun kiai-kiai pondok pesantren yang berada di Desa Banjarmelati, Kediri, masih dianggap banyak orang sebagai keturunan Sunan Ampel dan Sunan Giri.

Masjid tertua kota ini dibangun sekitar tahun 1800 M. Dalam cerita rakyat Kediri yang telah dibenarkannya hingga kini, disebutkan bahwa pendiri masjid yang hanya berjarak lima meter dari sungai Brantas itu adalah seorang muballigh Islam bernama Kiai Ali asal dari desa Srigading, Kalangbret, Tulungagung, Jatim. Konon, cucu Kiai Abdulloh Mursyad (beliau adalah salah seorang keturunan Sunan Giri. Makam beliau berada di desa Bakalan, Grogol, Kabupaten dan biasa disebut Setono Landean) ini sebelum mendirikan masjid terlebih dahulu menyusuri sungai Brantas dengan perahu guna mencari tanah yang cocok untuk mendirikan masjid. Dan ketika sampai di selatan jembatan Kotamadya Kediri, di situlah beliau menemukan tanah yang berbau harum bagai bunga melati.

Salah satu keturunan Kiai Ali bernama Kiai Sholeh. Kyai Sholeh mempunyai lima orang putri. Kelima putri tersebut dinikahkan dengan orang-orang yang alim, orang yang kelak semuanya menjadi pendiri Pondok Pesantren. Masing-masing adalah Pondok Pesantren Lirboyo, Kedunglo, Jampes, Batokan Mojo, dan Kalipucung Sanankulon Blitar.

Lirboyo adalah pesantren yang dibangun oleh keturunan Kiai Ali yang dirintis oleh menantu beliau pada tahun 1910 M., KH. Abdul Karim. Mbah Manab (sebutan Kiai Abdul Karim sebelum menunaikan ibadah haji) adalah seseorang 'alim yang berasal dari Magelang, Jawa Tengah. Beliau dinikahkan dengan putri Kiai Sholeh yang bernama Nyai Khodijah (Dlomroh).

Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatar-belakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan menempatkan salahsatu menantunya (Kyai Abdul Karim) di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.

Harapan kepala desa Lirboyo ternyata menjadi kenyataan. Karena konon, ketika pertama kali Kiai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang.

Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana. Surau mungil inilah cikal bakal Pondok Pesantren Lirboyo, yang kini dihuni ribuan santri dari berbagai pelosok nusantara.

Menurut buku sejarah Pondok Pesantren Lirboyo, tercatat bahwa santri pertama KH. Abdul Karim adalah seorang muda berasal dari Madiun, Jatim, namanya Umar. Setelah umar, datanglah tiga orang santri asal Magelang, Jateng, daerah asal KH. Abdul Karim. Yusuf, Shomad dan Sahil, mereka bertiga datang untuk menimba ilmu di Lirboyo.

Sistem Pendidikan Lirboyo
Tahun demi tahun, Lirboyo semakin dikenal masyarakat luas dan bertambah banyaklah santri yang berdatangan. Hal tersebut mengharuskan adanya fasilitas guna menunjang proses belajar mengajar para santri, dan sekitar tahun 1913 H. muncullah gagasan untuk mendirikan masjid guna memaksimalkan kegiatan santri. Masjid pun akhirnya berdiri dengan amat sederhana. Dan karena bangunan yang apa adanya ini, masjid Lirboyo pernah porak-poranda disapu angin beliung. Barulah pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Lirboyo memiliki masjid yang lebih permanen, lebih megah dengan mustaka yang menjulang tinggi. Lebih dari itu, untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, pintu yang semula hanya satu ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah. Di masjid inilah, kegiatan para santri dipusatkan.

Seperti halnya pesantren lain dengan sistem klasiknya, Lirboyo pun pada masa awalnya hanya memakai sistem bandongan (guru membacakan materi dikelilingi santri yang mencatatnya pada kitab masing-masing) dan sorogan (santri membaca materi, guru menyimak, membetulkan bacaan maupun memberi keterangan tambahan untuk dicatat). Baru pada tahun 1925 M. Lirboyo menggunakan sistem pendidikan klasikal (sekolah) dibawah naungan Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (MHM).

MHM mempunyai empat jenjang pendidikan. Sekolah Persiapan (SP. Jenjang ini diperuntukkan bagi santri yang daftar setelah waktu penerimaan santri baru ditutup. Lamanya jenjang ini tergantung tingkat kemampuan santri), Ibtidaiyyah (6 tahun), Tsanawiyah (3 tahun) dan Aliyah (3 tahun).

Dalam satu tahun ajaran, kurikulum yang dipakai MHM beragam. Bisa dikatakan, semua disiplin ilmu agama diajarkan oleh MHM. Tengok saja, Tauhid, Nahwu, Shorof, Fikih, Tajwid, Akhlaq, Sejarah Islam, Falaq (Perbintangan), Ushul Fikih, Hadis, Tafsir, Faraid (Pewarisan), Imla, Khat, Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Bahasa Arab, Administrasi, Ilmu Hitung (Abajadun), ‘Arud (Seni, mendalami syair-syair Arab), Mantiq (Filsafat), Balaghoh (Sastra Arab), Kaidah Fikih dan Tasawuf, diperdalam siswa-siswa MHM. Dan perlu kami tambahkan, semua santri harus mengikuti kegiatan sekolah tanpa terkecuali.

Dari seabreg materi tersebut, dalam satu tahun masa ajaran MHM menargetkan santri Lirboyo untuk paham, mempraktekkan, hafal, tahu, mampu menjelaskan dan mengajarkan materi yang diberikan Mustahiq (wali kelas) dan Munawibnya (guru bantu). Untuk catatan materi, siswa MHM harus seratus persen memilikinya. Sedang nadzoman (ringkasan materi yang berupa syair Arab), untuk melanjutkan ke tingkat selanjutnya (baca; naik kelas) santri-santri Lirboyo harus hafal minimal 85 persen, atau diistilahkan dengan mutawasit.

Untuk memaksimalkan target tersebut, MHM melakukan lima macam pengevaluasian. Pertama, evaluasi harian. Evaluasi ini dilakukan langsung oleh wali kelas terhadap materi yang diajarkan baik dengan bentuk lisan atau tulisan (muroja’ah). Kedua, evaluasi mingguan. Evaluasi ini juga dilakukan oleh wali kelas secara tertulis terhadap materi yang diajarkan, biasa disebut Tamrin. Ketiga, evaluasi pertengahan tahun dan akhir tahun. Evaluasi ini diadakan setiap pertengahan tahun dan akhir tahun. Pelaksananya bukan saja dilakukan oleh mustahiq, tapi juga menyertakan tim yang telah resmi dibentuk oleh MHM, dan evaluasi ini biasa diistilahkan dengan semester ganjil dan genap. Keempat, evaluasi/ koreksian tulisan (buku dan kitab). Seperti halnya semester genap dan ganjil, evaluasi ini pun mengikutsertakan panitia khusus dan dilakuakn dua kali dalam setahun. Kelima, evaluasi hafalan nadzom yang dilakukan setahun sekali.

Disamping sistem klasikal yang sampai kini masih digunakan, Lirboyo pun tidak menutup diri dari kebutuhan yang harus dimiliki oleh para santri ketika mereka kembali ke sangkarnya. Pendidikan ektrakurikuler yang dimiliki pun beragam. Menjahit, dekorasi, komputer, bahasa Inggris dan Arab, serta keterampilan lain pun diajarkan. Seperti bahtsul masa’il, ‘Uyunul masaailinnisa (mengupas tentang masalah haid dan masalah kewanitaan), keorganisasian dan dakwah (semacam kegiatan Kuliah Kerja Nyata [KKN]).

Sedangkan untuk pendalaman pendidikan al Quran (termasuk bagi mereka yang berminat menghafalkan), Lirboyo secara khusus menyerahkannya pada Madrasah Murottilil Qur’an (MMQ). Tingkatan dalam MMQ pun beragam. Ada tingkat Ibtida’iyyah, Tsanawiyyah, dan Aliyyah sebagai tingkatan pokok. Kemudian tingkat Tahaffuzh dan tingkat Qiro-at Sab’iyyah sebagai tingkat lanjutan. Bahkan dalam tingkatan akhirnya, tujuh macam versi bacaan diajarkan.

Output Lirboyo
Seperti yang telah disinggung dimuka, bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang independent telah banyak me’lahir’kan alumni yang telah terjun di medan perjuangan, baik masyarakat maupun negara, maka dalam hal ini Lirboyo pun ikut berperan.

Tidak dapat disangsikan, dalam pertemuan di kantor PB NU jalan Bubutan Surabaya tanggal 21-22 Oktober 1945 (yang akhirnya mengeluarkan resolusi Perang Sabil), tokoh Lirboyo turut berperan di dalamnya. Dialah KH. Mahrus Ali, menantu KH. Abdul Karim yang hadir dalam pertemuan tersebut. Bukan hanya itu, sebelumnya, tidak lama setelah Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, KH. Mahrus Ali, Mayor Mahfudz dan R. Abd. Rahim Pratalikromo mengomandoi pelucutan senjata Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya).

Sampai usia ke-seratus tahunnya, Lirboyo telah banyak mencetak tokoh. KH. Abdurrohman Wahid (Gus Dur), KH. Maimun Zubair (Sarang), KH. Ahsin Sakho (Cirebon), KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), KH. Said Aqil Siradj (Cirebon), KH. Muhaimin Iskandar (Semarang), KH. Nur Muhammad Iskandar (Jakarta), KH. Anwar Iskandar (Kediri), Fadholi El-Muhir (pendiri Forum Betawi Rembug, Jakarta), adalah sebagian dari deretan nama-nama yang pernah merasakan nikmatnya menarik ‘senggot’ Lirboyo (senggot adalah istilah untuk timba yang dikaitkan pada bambu panjang. Sebelum ada pompa air, alat ini biasa digunakan oleh santri Lirboyo untuk mengambil air dari sumur. Saat ini, senggot Lirboyo tinggal satu buah).

Terlepas dari keberkahan yang ‘dipancarkan’ pesantren dan beberapa oknum yang mencoreng ‘jatidiri kang santri’, para santri (bukan hanya santri Lirboyo) adalah manusia-manusia ‘tangguh’. Karena sejak dini mereka telah diajarkan disiplin, mandiri, kerja keras, tanggung jawab dan berbudi pekerti. Sosok anak manusia yang sejatinya dicari-cari bangsa ini lewat dinas pendidikan dengan segala sistemnya untuk kemajuan nusa dan bangsa.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post